Rabu, 28 Oktober 2015

Elemen-elemen Semiologi Roland Barthes

Penulis : Roland Barthes
Penerjemah: Kahfie Nazaruddin
Cetakan : I, September 2012
Ukuran : 14 x 21
Tebal : xii + 120 hlm
ISBN : 978-602-8252-80-5
 Harga: 58.000 (Nett: 48.000)
Harga tidak termasuk ongkir. Dikirim dari Yogyakarta.

Dalam karyanya, Ferdinand de Saussure mendalilkan eksistensi ilmu tanda atau semiologi yang luas cakupannya, di mana linguistik hanyalah salah satu cabangnya. Dari posisi di mana Saussure berhenti, buku yang Anda pegang ini melanjutkan apa yang sudah diawali oleh Saussure. Berkebalikan dengan pendapat yang diutarakan Saussure, Barthes dalam buku ini menawarkan pandangan yang menyatakan bahwa semiologi hanyalah cabang dari linguistik. Dari akar konsep-konsep analitis linguistik inilah Barthes dengan cerdas berhasil menyarikan elemen-elemen semiologi dan menyulamnya menjadi format yang lebih strukturalis dan sinkronik.
Elemen-elemen yang Barthes tampilkan dalam buku ini, meski agak longgar dan relatif kurang patuh pada model linguistik secara ketat, ditujukan untuk mengusulkan dan menjelaskan suatu terminologi dengan harapan bisa menyusun suatu fondasi awal dari begitu beragamnya fakta yang serba penting tentang semiologi. Dan seperti halnya semua teori kritis murni, buku ini benar-benar padat dan ringkas.
Sebagai naskah awal tentang semiologi yang ditulis saat kajian ini mulai dibangun, buku ini akan memberi para pembacanya fondasi semiologis yang solid untuk membangun pengetahuan tentang strukturalisme, linguistik, atau semiologi yang lebih meluas dan spesifik. Inilah buku pembuka bagi siapa pun yang berharap ingin memahami elemen-elemen esensial ini. Buku ini penting bagi mahasiswa sastra dan cultural studies.
 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI xi
I BAHASA (LANGUE)
DAN TUTURAN (PAROLE) 1
I.1. Dalam Linguistik 1
I.2. Prospek Semiologi 14
II PENANDA DAN PETANDA 27
II.1. Tanda 27
II.2. Petanda 36
II.3. Penanda 42
II.4. Penandaan 43
II.5. Nilai 50
III SINTAGMA DAN SISTEM 55
III.1. Dua Poros Bahasa 55
III.2. Sintagma 60
III.3. Sistem 71
IV DENOTASI DAN KONOTASI 91
IV.1. Sistem Berlapis 91
IV.2. Konotasi 93
IV.3. Metabahasa 94
IV.4. Konotasi dan Metabahasa 96
KESIMPULAN: PENELITIAN SEMIOLOGIS 99
BIBLIOGRAFI 109
BIBLIOGRAFI PILIHAN 112
INDEKS 113 
KATA PENGANTAR
Dalam bukunya berjudul Course in General Linguistics, yang terbit pertama kali pada 1916, Saussure mendalilkan eksistensi ilmu tanda atau Semiologi yang luas cakupannya, dimana linguistik hanyalah salah satu cabangnya. Semiologi, karena itu, ditujukan untuk menggeledah semua system tanda, apa pun substansi dan ranahnya. Citra, gerak tubuh, suara musik, benda, atau gabungan yang kompleks di antara substansi-substansi ini dan merupakan fondasi dasar dari ritual, konvensi, dan entertain publik: semuanya membangun, jika bukan bahasa, setidaknya sistem penandaan. Tidak disangsikan lagi bahwa komunikasi massa mendapatkan relevansi tertentu hari-hari ini pada beragam media penandaan hanya karena kesuksesan disiplin ilmu seperti linguistik, teori informasi, logika formal, dan antropologi struktural dalam memberikan analisis semantik dengan cara-cara baru. Hari-hari ini, terasa sekali kebutuhan akan semiologi. Dan kebutuhan akan semiologi ini muncul bukan karena desakan segelintir ahli, tetapi dari jantung sejarah dunia modern itu sendiri.
Kenyataannya bahwa, meski gagasan Saussure tersebut telah berkembang pesat, semiologi belum merupakan ilmu yang kokoh. Barangkali sebabnya sederhana saja. Saussure, juga diikuti oleh banyak semiolog ternama, menganggap Linguistik hanya sebagai bagian kecil dari ilmu tanda yang mahaluas itu. Padahal, dalam kehidupan umat manusia saat ini, tidak ada sistem tanda yang selengkap bahasa manusia. Semiologi telah begitu lama memusatkan perhatiannya hanya pada kode-kode dari hal-hal yang sekilas menarik saja, seperti kode lalu lintas atau jalan raya; pada saat melangkah lebih jauh ke dalam sistem-sistem yang maknanya lebih bersifat sosiologis ketimbang artifisial, maka kita akan berhadapan lagi dengan bahasa. Memang benar bahwa objek, citra, dan pola perilaku bisa menandakan sesuatu, juga dalam skala yang lebih luas, tetapi proses penandaan tersebut tidak pernah terjadi secara otomatis; semua sistem semiologis mengandung unsur linguistik. Sebagai contoh, makna setiap substansi visual menjadi jelas ketika disertai pesan linguistik (seperti inilah yang terjadi dengan sinema, iklan, komik bergambar, foto berita, dan seterusnya) sehingga pada akhirnya, ditilik dari relasi strukturalnya, bagian pesan ikonik entah dipertegas atau malah tertutup oleh sistem bahasa. Sementara untuk kumpulan objek-objek (pakaian, makanan), objek-objek itu tergolong sistem hanya bila disampaikan melalui bahasa, yakni bahasa yang menyarikan penanda dari benda-benda itu (dalam bentuk nomenklatur) dan menamai petandanya* (ketika digunakan atau dalambentuk nalar): jauh berbeda dengan era sebelumnya dan terlepas dari semakin menjamurnya ilustrasi bergambar, kita berada dalam peradaban tulis. Pada akhirnya, dan dalam pengertian yang umum, semakin sulit membayangkan sistem citra dan objek yang petanda-nya bisa mandiri dari bahasa: untuk memahami petanda suatu substansi kita mesti bertumpu pada individuasi bahasa; tak ada makna yang tak terungkap, dan dunia petanda tak lain dari dunia bahasa itu sendiri.
Oleh karena itu, meski semula menelaah substansi nonlinguistik, cepat atau lambat semiologi diperlukan untuk menempatkan bahasa (dalam artian harfiah kata ini) di jalurnya, bukan hanya sebagai model, tetapi juga sebagai komponen, penyambung, atau petanda. Meski begitu, bahasa yang dimaksudkan di sini bukan bahasa yang lazim diteliti oleh para ahli bahasa: bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa pada lapisan kedua, yakni bahasa yang satuannya bukan lagi monem atau fonem, melainkan fragmen-fragmen dari wacana yang lebih besar yang merujuk pada objek atau waktu dan yang maknanya melandasi bahasa tetapi tidak bisa lepas dari bahasa. Dengan demikian, semiologi mungkin ditakdirkan untuk berkutat dengan trans-linguistik yang materialnya bisa mitos, narasi, jurnalisme, atau— di sisi lain—objek-objek dalam peradaban kita, sejauh objek itu terkatakan (melalui pers, brosur, wawancara, percakapan, bahkan bahasa batin, yang diatur oleh hukum imajinasi). Kenyataannya, sekarang kita harus berhadapan dengan kemungkinan untuk mengubah maklumat Saussure: linguistik bukan bagian dari ilmu tanda, apalagi bagian yang istimewa, tetapi semiologilah yang merupakan bagian dari linguistik; lebih persisnya, semiologi adalah bagian dari linguistik yang menggarap satuan-satuan penandaan besar dari suatu wacana. Dengan perubahan ini, kita bisa menyoroti satuan penelitian yang sedang dibedah dalam antropologi, sosiologi, psikoanalisis, dan stilistika dengan berbasis pada konsep penandaan. Meski tak disangsikan bahwa butuh waktu untuk mengubah karakternya, semiologi pertama-tama, jika tidak persis seperti yang didefinisikan, setidak-tidaknya menjajal dirinya, menjelajah kemungkinan dan ketakmungkinannya. Hal ini hanya dimungkinkan jika berbasis pada kajian awal. Dan tentu saja, harus diakui bahwa kajian semacam itu baik bersifat memalukan dan tergesa-gesa: memalukan karena pengetahuan semiologis pada akhirnya menjadi tak lebih dari kopian pengetahuan linguistik; tergesa-gesa karena pengetahuan tersebut harus segera diterapkan, sekurangkurangnya sebagai percontohan, pada objek-objek nonlinguistik.
Elemen-elemen yang ditampilkan dalam buku ini memiliki tujuan tunggal untuk menyarikan konsep-konsep analitik¹ dari linguistik, yakni konsep-konsep yang secara a priori cukup untuk mengawali penelitian semiologis. Ketika menyusunnya, jangan mengira elemen-elemen itu akan terus bersifat tetap selama penelitian berlangsung; jangan pula mengira semiologi akan selalu mematuhi model linguistik secara ketat.² Kami hanya mengusulkan dan menjelaskan suatu terminologi dengan harapan bisalah disusun suatu bangunan awal (biarpun untuk sementara) dari begitu beragamnya fakta yang serba penting tentang semiologi. Sesungguhnya, yang hendak kami lakukan adalah membangun prinsip klasifikasi terhadap elemen-elemen semiologi. Karena itu, elemen-elemen semiologi tersebut dikelompokkan ke dalam empat konsep utama yang dipinjam dari linguistik struktural, sebagai berikut:

I. Bahasa dan Tuturan
II. Penanda dan Petanda
III. Sintagma dan Sistem
IV. Denotasi dan Konotasi
Kelihatan bahwa konsep-konsep ini tersusun secara dikotomis; sidang pembaca juga bisa mencatat bahwa klasifikasi biner terhadap konsep-konsep tersebut di atas bukan sesuatu yang asing dalam alam pikir struktural,³ seakan-akan metabahasa para linguis mereproduksi, seperti cermin, struktur biner dari sistem yang dijelaskannya; dan pada saatnya, kami akan memperlihatkan bahwa sangat bermanfaat bila mempelajari kelebihan dari klasifikasi biner dalam wacana ilmu-ilmu sosial mutakhir. Taksonomi dalam ilmu-ilmu sosial tersebut, jika benar-benar dipahami, memberi banyak informasi mengenai sesuatu yang bisa disebut sebagai medan imajinasi intelektual di zaman kita. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar