Rabu, 28 Oktober 2015

JURUS KULIAH ke LUAR NEGRI

harga: 157.000
nett   : 136.000
sudah termasuk DVD. belum termasuk ongkir. dikirim dari Yogyakarta.

"Jurus Kuliah ke Luar Negeri" (JKLN). Baca ini, kamu PASTI kuliah ke luar negeri. JAMINAN KEPUASAN UANG KEMBALI 100%.

Buku ini adalah panduan lengkap kuliah ke luar negeri untuk mahasiswa Indonesia. Terdiri dari satu buku (302 halaman) plus 9 volume ebook (4367 halaman), di dalamnya memuat berbagai informasi yang akan membantu kamu sukses kuliah di luar negeri. Mulai dari trik-trik cerdas mendapatkan beasiswa, cara membuat "motivation letter" yang bisa menggerakkan hati pemberi beasiswa untuk memilih kamu, cara "merayu" profesor di universitas asing untuk memberi beasiswa ke kamu, RATUSAN link beasiswa dan grup-grup penyedia beasiswa, serta masih banyak lagi. Nggak cuma itu, ada wawancara langsung dengan PULUHAN mahasiswa yang saat ini sudah sukses kuliah ke luar negeri. Ada berbagai jurus-jurus rahasia kuliah ke luar negeri yang langsung bisa diterapkan. 

Asyiknya lagi, harganya hanya 157 ribu, setara dengan ongkos nonton film dan makan malam berdua di mall.

Elemen-elemen Semiologi Roland Barthes

Penulis : Roland Barthes
Penerjemah: Kahfie Nazaruddin
Cetakan : I, September 2012
Ukuran : 14 x 21
Tebal : xii + 120 hlm
ISBN : 978-602-8252-80-5
 Harga: 58.000 (Nett: 48.000)
Harga tidak termasuk ongkir. Dikirim dari Yogyakarta.

Dalam karyanya, Ferdinand de Saussure mendalilkan eksistensi ilmu tanda atau semiologi yang luas cakupannya, di mana linguistik hanyalah salah satu cabangnya. Dari posisi di mana Saussure berhenti, buku yang Anda pegang ini melanjutkan apa yang sudah diawali oleh Saussure. Berkebalikan dengan pendapat yang diutarakan Saussure, Barthes dalam buku ini menawarkan pandangan yang menyatakan bahwa semiologi hanyalah cabang dari linguistik. Dari akar konsep-konsep analitis linguistik inilah Barthes dengan cerdas berhasil menyarikan elemen-elemen semiologi dan menyulamnya menjadi format yang lebih strukturalis dan sinkronik.
Elemen-elemen yang Barthes tampilkan dalam buku ini, meski agak longgar dan relatif kurang patuh pada model linguistik secara ketat, ditujukan untuk mengusulkan dan menjelaskan suatu terminologi dengan harapan bisa menyusun suatu fondasi awal dari begitu beragamnya fakta yang serba penting tentang semiologi. Dan seperti halnya semua teori kritis murni, buku ini benar-benar padat dan ringkas.
Sebagai naskah awal tentang semiologi yang ditulis saat kajian ini mulai dibangun, buku ini akan memberi para pembacanya fondasi semiologis yang solid untuk membangun pengetahuan tentang strukturalisme, linguistik, atau semiologi yang lebih meluas dan spesifik. Inilah buku pembuka bagi siapa pun yang berharap ingin memahami elemen-elemen esensial ini. Buku ini penting bagi mahasiswa sastra dan cultural studies.
 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI xi
I BAHASA (LANGUE)
DAN TUTURAN (PAROLE) 1
I.1. Dalam Linguistik 1
I.2. Prospek Semiologi 14
II PENANDA DAN PETANDA 27
II.1. Tanda 27
II.2. Petanda 36
II.3. Penanda 42
II.4. Penandaan 43
II.5. Nilai 50
III SINTAGMA DAN SISTEM 55
III.1. Dua Poros Bahasa 55
III.2. Sintagma 60
III.3. Sistem 71
IV DENOTASI DAN KONOTASI 91
IV.1. Sistem Berlapis 91
IV.2. Konotasi 93
IV.3. Metabahasa 94
IV.4. Konotasi dan Metabahasa 96
KESIMPULAN: PENELITIAN SEMIOLOGIS 99
BIBLIOGRAFI 109
BIBLIOGRAFI PILIHAN 112
INDEKS 113 
KATA PENGANTAR
Dalam bukunya berjudul Course in General Linguistics, yang terbit pertama kali pada 1916, Saussure mendalilkan eksistensi ilmu tanda atau Semiologi yang luas cakupannya, dimana linguistik hanyalah salah satu cabangnya. Semiologi, karena itu, ditujukan untuk menggeledah semua system tanda, apa pun substansi dan ranahnya. Citra, gerak tubuh, suara musik, benda, atau gabungan yang kompleks di antara substansi-substansi ini dan merupakan fondasi dasar dari ritual, konvensi, dan entertain publik: semuanya membangun, jika bukan bahasa, setidaknya sistem penandaan. Tidak disangsikan lagi bahwa komunikasi massa mendapatkan relevansi tertentu hari-hari ini pada beragam media penandaan hanya karena kesuksesan disiplin ilmu seperti linguistik, teori informasi, logika formal, dan antropologi struktural dalam memberikan analisis semantik dengan cara-cara baru. Hari-hari ini, terasa sekali kebutuhan akan semiologi. Dan kebutuhan akan semiologi ini muncul bukan karena desakan segelintir ahli, tetapi dari jantung sejarah dunia modern itu sendiri.
Kenyataannya bahwa, meski gagasan Saussure tersebut telah berkembang pesat, semiologi belum merupakan ilmu yang kokoh. Barangkali sebabnya sederhana saja. Saussure, juga diikuti oleh banyak semiolog ternama, menganggap Linguistik hanya sebagai bagian kecil dari ilmu tanda yang mahaluas itu. Padahal, dalam kehidupan umat manusia saat ini, tidak ada sistem tanda yang selengkap bahasa manusia. Semiologi telah begitu lama memusatkan perhatiannya hanya pada kode-kode dari hal-hal yang sekilas menarik saja, seperti kode lalu lintas atau jalan raya; pada saat melangkah lebih jauh ke dalam sistem-sistem yang maknanya lebih bersifat sosiologis ketimbang artifisial, maka kita akan berhadapan lagi dengan bahasa. Memang benar bahwa objek, citra, dan pola perilaku bisa menandakan sesuatu, juga dalam skala yang lebih luas, tetapi proses penandaan tersebut tidak pernah terjadi secara otomatis; semua sistem semiologis mengandung unsur linguistik. Sebagai contoh, makna setiap substansi visual menjadi jelas ketika disertai pesan linguistik (seperti inilah yang terjadi dengan sinema, iklan, komik bergambar, foto berita, dan seterusnya) sehingga pada akhirnya, ditilik dari relasi strukturalnya, bagian pesan ikonik entah dipertegas atau malah tertutup oleh sistem bahasa. Sementara untuk kumpulan objek-objek (pakaian, makanan), objek-objek itu tergolong sistem hanya bila disampaikan melalui bahasa, yakni bahasa yang menyarikan penanda dari benda-benda itu (dalam bentuk nomenklatur) dan menamai petandanya* (ketika digunakan atau dalambentuk nalar): jauh berbeda dengan era sebelumnya dan terlepas dari semakin menjamurnya ilustrasi bergambar, kita berada dalam peradaban tulis. Pada akhirnya, dan dalam pengertian yang umum, semakin sulit membayangkan sistem citra dan objek yang petanda-nya bisa mandiri dari bahasa: untuk memahami petanda suatu substansi kita mesti bertumpu pada individuasi bahasa; tak ada makna yang tak terungkap, dan dunia petanda tak lain dari dunia bahasa itu sendiri.
Oleh karena itu, meski semula menelaah substansi nonlinguistik, cepat atau lambat semiologi diperlukan untuk menempatkan bahasa (dalam artian harfiah kata ini) di jalurnya, bukan hanya sebagai model, tetapi juga sebagai komponen, penyambung, atau petanda. Meski begitu, bahasa yang dimaksudkan di sini bukan bahasa yang lazim diteliti oleh para ahli bahasa: bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa pada lapisan kedua, yakni bahasa yang satuannya bukan lagi monem atau fonem, melainkan fragmen-fragmen dari wacana yang lebih besar yang merujuk pada objek atau waktu dan yang maknanya melandasi bahasa tetapi tidak bisa lepas dari bahasa. Dengan demikian, semiologi mungkin ditakdirkan untuk berkutat dengan trans-linguistik yang materialnya bisa mitos, narasi, jurnalisme, atau— di sisi lain—objek-objek dalam peradaban kita, sejauh objek itu terkatakan (melalui pers, brosur, wawancara, percakapan, bahkan bahasa batin, yang diatur oleh hukum imajinasi). Kenyataannya, sekarang kita harus berhadapan dengan kemungkinan untuk mengubah maklumat Saussure: linguistik bukan bagian dari ilmu tanda, apalagi bagian yang istimewa, tetapi semiologilah yang merupakan bagian dari linguistik; lebih persisnya, semiologi adalah bagian dari linguistik yang menggarap satuan-satuan penandaan besar dari suatu wacana. Dengan perubahan ini, kita bisa menyoroti satuan penelitian yang sedang dibedah dalam antropologi, sosiologi, psikoanalisis, dan stilistika dengan berbasis pada konsep penandaan. Meski tak disangsikan bahwa butuh waktu untuk mengubah karakternya, semiologi pertama-tama, jika tidak persis seperti yang didefinisikan, setidak-tidaknya menjajal dirinya, menjelajah kemungkinan dan ketakmungkinannya. Hal ini hanya dimungkinkan jika berbasis pada kajian awal. Dan tentu saja, harus diakui bahwa kajian semacam itu baik bersifat memalukan dan tergesa-gesa: memalukan karena pengetahuan semiologis pada akhirnya menjadi tak lebih dari kopian pengetahuan linguistik; tergesa-gesa karena pengetahuan tersebut harus segera diterapkan, sekurangkurangnya sebagai percontohan, pada objek-objek nonlinguistik.
Elemen-elemen yang ditampilkan dalam buku ini memiliki tujuan tunggal untuk menyarikan konsep-konsep analitik¹ dari linguistik, yakni konsep-konsep yang secara a priori cukup untuk mengawali penelitian semiologis. Ketika menyusunnya, jangan mengira elemen-elemen itu akan terus bersifat tetap selama penelitian berlangsung; jangan pula mengira semiologi akan selalu mematuhi model linguistik secara ketat.² Kami hanya mengusulkan dan menjelaskan suatu terminologi dengan harapan bisalah disusun suatu bangunan awal (biarpun untuk sementara) dari begitu beragamnya fakta yang serba penting tentang semiologi. Sesungguhnya, yang hendak kami lakukan adalah membangun prinsip klasifikasi terhadap elemen-elemen semiologi. Karena itu, elemen-elemen semiologi tersebut dikelompokkan ke dalam empat konsep utama yang dipinjam dari linguistik struktural, sebagai berikut:

I. Bahasa dan Tuturan
II. Penanda dan Petanda
III. Sintagma dan Sistem
IV. Denotasi dan Konotasi
Kelihatan bahwa konsep-konsep ini tersusun secara dikotomis; sidang pembaca juga bisa mencatat bahwa klasifikasi biner terhadap konsep-konsep tersebut di atas bukan sesuatu yang asing dalam alam pikir struktural,³ seakan-akan metabahasa para linguis mereproduksi, seperti cermin, struktur biner dari sistem yang dijelaskannya; dan pada saatnya, kami akan memperlihatkan bahwa sangat bermanfaat bila mempelajari kelebihan dari klasifikasi biner dalam wacana ilmu-ilmu sosial mutakhir. Taksonomi dalam ilmu-ilmu sosial tersebut, jika benar-benar dipahami, memberi banyak informasi mengenai sesuatu yang bisa disebut sebagai medan imajinasi intelektual di zaman kita. []

Kotagede dalam Komik

Kotagede dalam Komik
Komikus: Anisa Rizki dkk
Cetakan: 2010.
Halaman: 152 hlm
ISBN: 979-17559-7-3
Ukuran: 14x20 cm
Harga: 35.100
Nett: 28.000,-
(belum termasuk ongkir, dikirim dari Yogyakarta)
Kotagede semasa saya kecil banyak perpustakaan yang menyimpan buku-buku dan komik. Di Pasar Legi juga ditemui banyak penjual buku dan komik. Buku "Kotagede dalam Komik" ini menghidupkan kembali suasana itu. Lewat buku ini, kita bisa belajar, berfantasi, bahkan lebih banyak tahu di samping komik lebih mudah dipahami daripada sekadar kata-kata atau tulisan tentang Kotagede. Saya kira tak akan ada habisnya kalau mau mengkomikkan Kotagede seisinya.
M. Natsir Chirzin, Yayasan Kantil Kotagede
Sesuai karakter komik "mendongeng melalui bahasa gambar" komik yang menarik tidak cukup hanya mengandalkan keterampilan menggambar saja, namun juga keterampilan menyampaikan isi (alur) ceritanya. Untuk komik yang bersifat "menguak aspik di balik hal", dibutuhkan survei atau observasi secukupnya tentang yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Komik ini sebagain besar mengungkapkan "di balik hal" Kotagede, yang berarti menceritakan adanya proses berkreasi melalui langkah observasi. Cukup menarik, dan mengingatkan saya pada beberapa komik karya Teguh Santosa, tahun 1970-an.
Asnar Zacky, toekang gambar apa saja, pengajar di DKV ISI Yogyakarta

Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya


PERGELARAN
Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya
Pengarang: Lono Simatupang
Ukuran:  15 x 23 cm  
Halaman: xl+312 hlm
Format: paperback
ISBN 978-602-8252-87-4
Kategori buku:  Kajian seni pertunjukan
Harga: 70.000,-
Nett: 58.000,-
Tidak termasuk Ongkir. Dikirim dari Kota Yogyakarta.
Sinopsis
Perkembangan dan pertumbuhan ilmu pengetahuan berhubungan secara dialektis dengan perubahan realitas material, praktik, maupun pergaulan umat manusia yang didorong oleh faktor-faktor yang berada di luar wilayah akademis. Di dalam ranah akademis sendiri, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang lewat penambahan objek kajian dengan hal-hal yang sebelumnya belum dipertanyakan, lewat penerapan perspektif baru terhadap objek kajian yang sama, atau gabungan keduanya. Tersirat di dalam pernyataan itu, bahwa pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dicapai lewat penelitian.
Gerak dinamis serupa ini terjadi pula dalam disiplin keilmuan yang menempatkan seni sebagai objek kajiannya. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar mengenai pergeseran perspektif yang terjadi dalam kajian seni. Pembahasan akan difokuskan pada munculnya kecenderungan pendekatan yang memberi penekanan pada pergelaran (performance) – atau yang sering dikenal sebagai performance centered approach. Pada beberapa bagian akan dipaparkan secara singkat tentang pemikiran fenomenologi – aliran filsafat yang melatarbelakangi munculnya pergeseran pendekatan tersebut.
Buku ini menyajikan bagaimana perspektif fenomenologi memberi pengaruh pada minat antropologi untuk meneliti perihal pengalaman. Buku ini juga membahas pendekatan yang terpusat pada pergelaran; termasuk keterkaitan antara performance centered approach ini dengan metode etnografi.
Pengantar Editor
Strategi Membaca ‘Pergelaran,’ Seorang Antropolog, dan Sebuah Mozaik Penelitian
Dede Pramayoza
Strategi Membaca ‘Pergelaran’ dan Seorang Antropolog 
Dewasa ini perspektif performance studies semakin sering digunakan dalam telaah-telaah seni pertunjukan (teater, tari, dan musik) di Nusantara. Indikasinya adalah semakin banyak yang menggunakan semiotika, antropologi, kajian lisan—beberapa disiplin yang turut membangun performance studies— sebagai piranti analisisnya, yang dikombinasikan dengan estetika, koreologi, dramaturgi, dan musikologi. Meski tidak persis sama, namun dapat dikatakan bahwa belakangan ilmu-ilmu seni pementasan dan pertunjukan ditantang oleh kehadiran performance studies, sebagaimana ilmu-ilmu sosial ditantang oleh kehadiran cultural studies. Tantangan itu mengemuka, karena pada saat yang sama, peneliti seni harus tetap terus menguraikan gejala-gejala kesenian yang ada di sekeliling mereka dengan piranti yang mutakhir, salah satunya dengan menggunakan ‘kacamata’ performance studies. Sementara, performance studies itu sendiri harus terus diraba dan ditata pula, untuk menemukan format yang pas bagi struktur kekinian dan “ke-di-sini-an” kita.  
Namun demikian, belum banyak referensi ‘berbahasa’ Indonesia perihal performance studies ini. Salah satu—kalau bukan satu-satunya—pengantar yang cukup baik adalah artikel Sal Murgiyanto berjudul “Tentang Kajian Pertunjukan” yang dipublikasikan sekitar 14 tahun yang lalu.   Melalui uraiannya, dapat dilihat bagaimana ilmu-ilmu seni (musikologi, kajian tari, kajian teater) di satu titik dan antropologi di titik lain saling mendekati dan bertemu dalam suatu kajian inter-disiplin (etnomusikologi, etnologi tari, dan performance studies). Secara dramatis, Sal Murgiyanto menggambarkan hal itu dalam perjalanan dua orang –meminjam istilah Sal Murgiyanto sendiri—‘tokoh terkemuka’ performance studies, yaitu Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (praktisi seni). Artinya, Sal Murgiyanto secara sengaja atau tidak telah menggarisbawahi ‘tanggung jawab’ antropologi bagi pertumbuhan performance studies. Sementara itu, dalam satu refleksinya kemudian, Sal Murgiyanto mengatakan pula bahwa merespons pertumbuhan performance studies itu: “... di Indonesia, disiplin Etnomusikologi paling awal dibuka dan baru menyusul ... antropologi tari. Sementara perhatian para ahli teater terhadap studi antropologi belum nampak.” 
Membaca uraian Sal Murgiyanto membuat saya bersama beberapa teman yang sama-sama bergiat di teater mulai ‘terusik’ oleh performance studies, sekitar tahun 2006. Bersama perkenalan itu, dua pertanyaan kemudian timbul pula: pertama, jika Sal Murgiyanto sendiri adalah pakar ilmu seni pertunjukan di Nusantara yang punya ketertarikan terhadap performance studies, siapa antropolog yang bisa dianggap mewakili kecenderungan ini? Kedua, mengapa pula ‘para ahli teater’—jika benar sinyalemen Sal Murgiyanto— sepertinya  tidak tertarik dengan perspektif ini? Sama-sama berkecimpung di ranah teater dan sama-sama pula terlibat dengan ‘euforia’ performance studies, saya dan teman-teman panitia pada sebuah Seminar Teater di Jurusan Teater ISI (waktu itu masih STSI) Padangpanjang, kemudian mengundang Lono Simatupang—seorang antropolog yang kami kenal menggemari dunia kesenian—pada medio 2009, agar perspektif antropologi bagi performance studies itu bisa pula kami ‘raba’. Dan benar saja, makalah yang disajikan Lono Simatupang terlihat jauh berbeda dengan pemakalah lainnya. Saat semua pemakalah larut dalam pembicaraan yang ‘teater-sentris,’ Lono Simatupang malah bicara “penonton pergelaran.” Ia membuka tulisannya dengan sebuah pernyataan yang cukup provokatif, bahwa “... ternyata tidak semua yang kita tonton adalah tontonan ...”  Dengan pernyataan itu, Lono Simatupang mengajak partisipan seminar membaca ulang ‘tontonan’ atau yang kemudian ia namakan ‘pergelaran.’  
Mempertanyakan hal-hal yang selama ini cenderung tidak lagi dipertanyakan, Lono Simatupang menantang wawasan para partisipan seminar waktu itu tentang kemungkinan perluasan dan pengembangan kajian seni. Misalnya, tentang penonton: bagaimanakah penonton harus disikapi; siapakah yang dapat dinamakan penonton itu; apa peran penting penonton bagi pementasan; seberapa jauh penonton dapat memengaruhi pementasan; dan seterusnya. Bukannya tidak pernah terpikirkan, namun ‘kajian penonton’ dalam diskursus teater Nusantara adalah ihwal yang tetaplah ‘samar-samar’ kalau tidak harus dikatakan ‘gelap.’ Lagipula, ‘penonton pergelaran’? Apa pula itu ‘pergelaran’? 
Seorang Antropolog dan Kajian Seni: ‘Kajian Pergelaran’
Diskursus semacam itulah yang kemudian membawa saya dan beberapa teman mulai ‘membaca’ Lono Simatupang, dan bersama itu berharap bisa membaca pertumbuhan performance studies di Nusantara secara lebih lengkap dan jauh. Tanpa sengaja, terkumpul pulalah di hardisk komputer masing-masing beberapa artikel Lono Simatupang yang kami anggap relevan. Kesempatan untuk tujuan itu semakin terbuka lebar, ketika kami punya kesempatan bertemu Dr. Lono Simatupang, M.A. di Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa-UGM. Di kelas (antara lain: metode etnografi, antropologi seni, dan komunikasi seni), kami bisa berdiskusi dengan ‘Pak Lono’ perihal seni dari pelbagai perspektif. Dari situ pula kemudian terbuka pemahaman tentang sumbangan antropologi bagi kajian seni. Namun sumbangan itu mensyaratkan seseorang yang punya ‘kecintaan’ tersendiri terhadap ‘jagad seni’. Minimal, seorang pengamat budaya yang meyakini bahwa dunia kesenian adalah aspek yang cukup penting dari keseluruhan kebudayaan, bukan saja karena kesenian menjadi representasi dari kondisi terkini kebudayaan, namun juga karena aspek-aspek kreatifnya, yang berpotensi menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan etos dan budaya, sebagaimana oleh Milton Singer—dikutip dari Marvin Carlson—dijelaskan sebagai ‘pertunjukan budaya’ (cultural performance). 
Pada tataran inilah, posisi Lono Simatupang saya pandang cukup signifikan bagi pertumbuhan kajian seni secara umum, dan performance studies di Indonesia khususnya. Kecenderungannya untuk memilih praktik seni sebagai objek kajian, menjadi jaminan bagi tersedianya telaah-telaah antropologis—bahkan kajian budaya (cultural studies)—bagi praktik seni di Indonesia, yang pada momentumnya kelak akan menjadi bahan-bahan berharga bagi konstruksi performance studies atau—dalam ‘bahasa’ Lono Simatupang sendiri—tumbuhnya ‘kajian pergelaran’ di Indonesia.  Artinya, bukan tanpa kebetulan bahwa meski ia berangkat dari disiplin antropologi, namun Lono Simatupang cenderung memilih objek seni sebagai bahan amatannya. Tidak tanggung-tanggung, hal itu terekspresikan dalam dua tulisan yang saya kira adalah pertaruhan kualifikasi akademiknya, yaitu “Dangdut” untuk tesis M.A., dan “Reyog Ponorogo” untuk disertasi Ph.D.-nya. Semua itu semakin dimungkinkan karena Lono Simatupang dalam kesehariannya adalah seorang pengajar dan peneliti yang senantiasa berjalan ulang-alik di ketiga ranah itu: seni, antropologi, dan cultural studies  sehingga ia punya kesempatan untuk berefleksi atas pelbagai konsep dari masing-masing disiplin, untuk selanjutnya memproyeksikannya pada disiplin lain. 
Perjalanan ulang-alik pada ketiga ranah tersebut, dengan demikian, saya yakini telah menjadi kendaraan bagi Lono Simatupang untuk mengonstruksi tinjauan-tinjauan yang lintas-disiplin, seperti yang terlihat dalam pelbagai artikelnya. Kajian seni yang secara umum cenderung bertanya tentang apa dan bagaimana dikombinasikannya dengan tinjauan antropologi dan budaya yang, sebaliknya, cenderung mempertanyakan perihal mengapa. Hasilnya adalah tinjauan-tinjauan yang multi-perspektif, seperti yang selalu diulang-ulang Lono Simatupang dan sedikit banyak merefleksikan ideal type-nya tentang kajian seni, suatu tinjauan ‘teks dan konteks’ sekaligus. Suatu kualitas tinjauan yang tidak saja menunjukkan bagaimana ‘seni’ dikonstruksi dengan menerapkan apa yang disebut Alfred Gell sebagai ‘teknologi pesona’ (the technology of enchantment),  namun juga bagaimana seni berkontribusi di tengah masyarakat sebagai suatu medium berefleksi atas keseharian, atau meminjam istilah Saini K.M, suatu ‘ritus,’ yaitu upacara milik bersama masyarakat di mana nilai-nilai bersama dikontestasikan dan akhirnya dikukuhkan kembali.  
Berdasarkan pengertian semacam itu, ‘pergelaran’ bukan saja dipahami sebagai melulu peristiwa yang ‘disengaja’ namun juga pelbagai peristiwa yang dapat ‘tergelar’ begitu saja dalam kehidupan sehari-hari dalam pelbagai situasi. Artinya, ‘seni pergelaran’ (performance art), termasuk teater, pada dasarnya berakar pada ‘drama sosial,’ di mana manusia mengalami situasi dramatis pertama kali, yang kemudian ‘tersangatkan’ (heightened) menjadi pergelaran ‘drama teatrikal.’  Boleh jadi, di titik ini pulalah barangkali dapat terjawab mengapa para ‘ahli teater’ seperti yang dikemukakan Sal Murgiyanto, atau mungkin para peneliti dan pengamat seni secara umum, tidak terlalu tertarik menggunakan perspektif antropologi dan ‘kajian pergelaran’ secara khusus dalam tinjauan-tinjauan mereka. Perkenalan dengan keduanya berpotensi menimbulkan tinjauan-tinjauan yang menipiskan jarak antara seni dengan kehidupan sehari-hari, yang dapat mengancam eksklusivitas kajian seni dan praktik seni itu sendiri. Eksklusivitas, yang justru selama ini menjadi ‘modal budaya’ bagi para penggiat dan pengamat seni dalam percaturan intelektual dan sosial, yang dengan sendirinya menjadi penjamin dari eksistensi para penggiat dan pengamat seni itu sendiri. Secara singkat dapat dikatakan bahwa antropologi dan ‘kajian pergelaran’ akan membongkar perihal koneksitas antara realitas pergelaran dan realitas keseharian yang pada akhirnya akan cenderung merekomendasikan—kalau bukan malah menuntut—dikembalikannya sifat ontologis ‘pergelaran’ tersebut.    
Membaca (Buku) Pergelaran sebagai Sebuah Mozaik 
Secara singkat, semula sebagian besar tulisan yang terkumpul dalam buku ini dikumpulkan untuk tujuan sendiri. Sebagian di antaranya didapat dari materi diskusi dan seminar, sementara sebagian lainnya dari materi perkuliahan di kelas pengkajian seni. Namun, seiring semakin banyaknya ‘pembaca’ performance studies—setidaknya demikian pembacaan saya akhir-akhir ini—maka kiranya pantas pulalah kumpulan tulisan itu dibukukan dan dipublikasikan secara lebih luas. Bukan saja untuk sekadar menambah referensi, namun yang lebih penting untuk membuka diskusi bagi kemungkinan-kemungkinan perspektif baru kajian perihal praktik seni di Nusantara. Sebagai ‘kumpulan tulisan,’ tentu saja buku ini akan terasa serba menyeluruh sekaligus serba singkat. Namun begitu, ada beberapa ihwal penting yang ditawarkan buku ini yang saya pandang dapat bermanfaat, dan berdasarkan itu saya mencoba menyusunnya dalam sebuah konstruksi yang saya harapkan dapat memudahkan pembaca untuk mengikuti alurnya.
Dengan memahami ‘pergelaran’ sebagai suatu moda komunikasi yang merupakan akumulasi dari konsep-konsep kelisanan, ketubuhan, keindahan, dan pewacanaan, Lono Simatupang mengarahkan sebagian tulisannya pada tinjauan reflektif terhadap konsep, teori, dan metode yang menurutnya bermanfaat jika digunakan dalam tinjauan seni. Tulisan-tulisan tipe ini saya kumpulkan menjadi satu bagian dalam buku ini, dan karena itu saya beri judul “Refleksi: konsep, teori, metode.” Pada bagian ini, terdapat tinjauan terhadap tradisi lisan dan cerita rakyat, sejarah seni, tari dan wacana penubuhan, penonton dan ruang, yang diakhiri dengan rekomendasi Lono Simatupang perihal strategi meneliti seni dengan perspektif fenomenologi, pendekatan yang berpusat pada pergelaran, dan etnografi, serta pemaknaannya atas seni dan estetika dalam perspektif antropologi. Sebelum itu, sebuah tinjauan tentang seni secara umum yang dibuatnya, saya tempatkan sebagai prolog. 
Atas dasar direfleksikannya pelbagai konsep, teori, dan metode itu, Lono Simatupang kemudian membangun konsep-konsepnya sendiri dan kemudian menerapkannya dalam memahami gejala-gejala seni yang ia temui. Karena itu, di bagian kedua saya tempatkan artikel-artikel dengan tipe ini, yang saya namakan “Eksplorasi: kelisanan, pergelaran, estetika”. Topik di bagian ini cukup variatif, mulai dari mitos, tradisi lakon, liminalitas pertunjukan, estetika, dan etika, silang-gender, hingga wacana tubuh, dengan subjek antara lain: ketoprak, reyog Ponorogo, dangdut, tokoh “si pandir,” gemblak, topeng dalang Klaten, hingga tato. Bagian kedua ini memperlihatkan konsep-konsep yang dipilih secara selektif oleh Lono Simatupang untuk memahami kesenian, bagaimana ia menggunakannya, dan akhirnya bagaimana ia mencoba membangun pemahaman-pemahaman dari fenomena seni yang ditelitinya itu, yang pada dasarnya dapat disimpulkan dalam satu kata, yakni sebagai ‘pergelaran.’
Namun untuk apakah ‘pergelaran’ dipahami? Lono Simatupang mencoba menjawabnya dengan menerapkan konsep-konsep yang sama untuk melihat sesuatu yang lebih luas, yaitu kebudayaan. Pada bagian ketiga, yang saya namakan “Proyeksi: Warisan, Budaya, ‘Kuasa’” artikel-artikel yang memperlihatkan kecenderungan ini saya satukan. Kota, pusaka Nusantara, adat, tradisi, seni tari, jati diri bangsa, budaya daerah, hingga pariwisata, ia baca laksana ‘pergelaran’; untuk selanjutnya, menggunakan hasil pembacaannya itu untuk merekomendasikan strategi-strategi reinterpretasi, reposisi, revitalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi, hingga pengelolaan dan pengembangan kebudayaan. Maka, melalui bagian ketiga ini tampaklah bahwa Lono Simatupang bermaksud pula untuk secara kritis melihat hubungan antara negara dan kekuasaannya dengan kebudayaan secara luas. Karenanya, sebuah tulisan yang berjudul “Negara, Kebijakan Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata: Perspektif Antropologi Budaya,” saya letakkan sebagai epilog untuk buku ini. 
Secara keseluruhan, apa yang tersaji melalui tulisan-tulisan Lono Simatupang dalam buku ini hampir mencakup semua pendekatan yang oleh Robert Wuthnow (1987)—dikutip dari Elizabeth Bell—direkomendasikan sebagai empat pendekatan kontemporer dalam cultural studies, yang kemudian (ternyata) dapat digunakan pula dalam kajian ‘pergelaran’ yaitu: pendekatan struktural (structural approach); pendekatan dramaturgis (dramaturgical approach); pendekatan institusional (institutional approach); dan pendekatan dialektis (dialectical approach).  Pendekatan struktural yang menekankan pencarian atas pola dan aturan yang mengikat kebudayaan sebagai kesatuan, dapat dilihat pada beberapa artikel di bagian pertama dan kedua, antara lain dalam tulisannya tentang: cerita rakyat, musik etnik, reyog, ketoprak, dan topeng dalang. Pendekatan dramaturgis yang berfokus pada aspek ekspresi dan komunikasi suatu kebudayaan (melalui pelbagai bentuk ucapan, tindakan, benda, dan peristiwa), yang menekankan adanya alur dramatik dalam kehidupan sosial, di mana ‘seni pergelaran’, ritual, ideologi-ideologi, dan tindakan simbolik lainnya pada dasarnya mendramatisasikan kualitas hubungan sosial tersebut, tampak dalam sebagian besar artikel di bagian kedua. 
Sementara itu, artikel-artikel di bagian ketiga sebagian besar diwarnai oleh pendekatan institusional yang menekankan pentingnya peran organisasi yang mengkonstitusi kesenian, di mana sumber daya dan distribusinya kepada seluruh anggota budaya menghadirkan ‘relasi kuasa’ antara kesenian, negara, pendidikan, lembaga ilmu pengetahuan, dan media massa sebagai agen-agen ‘yang menguasai' dan mendistribusikan pelbagai sumberdaya kebudayaan itu. Sedangkan pendekatan dialektis, dapat dikatakan tersebar hampir di seluruh tulisan, di mana Lono Simatupang kerap kali juga meninjau perihal bagaimana konsumsi budaya, kondisi mental, struktur, penafsiran, kekuasaan, hubungan sosial dan lembaga dikonseptualisasikan, bergerak, dan berubah dalam ‘jagad seni’. Dialektika itu, tampak pula pada tataran bagaimana seni-budaya dipelajari dengan pelbagai disiplin ilmu dan metode. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan Lono Simatupang memperlihatkan keyakinannya untuk mempelajari seni-budaya sebagai hal yang heterogen, dinamis, dan selalu terkontestasikan. 
Inilah salah satu ihwal penting yang saya lihat dari tulisan-tulisan yang terkumpulkan dalam buku ini, yaitu bagaimana pelbagai pendekatan dapat dikombinasikan dan saling menguatkan dalam membaca praktik seni-budaya. Meskipun ditampilkan dalam bentuk ‘mozaik,’ namun hal itu justru saya anggap akan menambahkan keindahan tersendiri bagi buku ini, sebab pelbagai warna yang tertampilkan akan menunjukkan betapa luasnya kemungkinan tinjauan terhadap seni. Di samping itu, ‘pergelaran’/ ‘per-gelar-an,’ terma yang digunakan Lono Simatupang dalam buku ini, cukup pantas dipertimbangkan untuk mewakili apa yang hendak diangkut oleh istilah ‘performance’ yang memang tidak terlalu mudah untuk dialihkan ke dalam bahasa kita.  Uraian-uraian di buku ini sedikitnya akan memperlihatkan bahwa ‘pergelaran’ (performance) dapat dipahami sebagai “pelbagai proses ketubuhan (the embodied processes) untuk mencipta sekaligus mencerna budaya,” di mana budaya diartikan sebagai pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan semua kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat.  Lebih jauh, melalui pelbagai artikel di buku ini akan terlihat pula, bahwa ‘kajian pergelaran’ dapat digunakan sebagai cara untuk memahami tindakan keseharian kita secara lebih baik, karena pada hakikatnya dunia keseharian ternyata justru disusun oleh pelbagai modus ‘pergelaran’ itu.
Secara keseluruhan, ‘mozaik’ di buku ini akan memperlihatkan pula konsep-konsep kunci dalam pikiran Lono Simatupang. Hal itu akan terlihat secara eksplisit dalam beberapa tulisan, di mana ia menggunakan konsep dan teori yang sama untuk mendekati fenomena yang berbeda. Atas dasar itu, saya sengaja membiarkan beberapa irisan tetap terlihat, dan menambahkan beberapa indeks dalam tubuh artikel, dengan memberi keterangan dalam tanda kurung yang selain saya gunakan untuk mengingatkan pembaca bahwa ihwal yang bersangkutan telah dibahas pada tulisan lain, juga saya maksudkan untuk menunjukkan pertautan-pertautan pikiran antara tulisan yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara tersebut, saya harapkan pembaca dapat pula turut menyimak konstruksi pikiran serta ‘cita rasa’ penelitian khas Lono Simatupang seperti yang coba saya lakukan. Di samping itu, bagi para peneliti seni-budaya, cara Lono Simatupang membangun ‘kajian pergelaran’-nya ini, barangkali dapat bermanfaat sebagai inspirasi untuk kemudian mencoba pula berefleksi atas pelbagai pengalaman dan pemahaman masing-masing, untuk selanjutnya merangkainya menjadi ‘strategi’ penelitian sendiri. 
Akhir Kata: Perihal Terbitnya Buku Pergelaran 
Akhirnya, terbitnya buku Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya yang kini tersaji ke hadapan para pembaca ini saya harapkan dapat memberi sumbangan berharga bagi dunia akademik seni dan budaya, dan ‘jagad seni’ umumnya, terutama sebagai penambah referensi tentang penelitian seni-budaya yang jumlahnya memang belum banyak. Seturut pengetahuan saya, hanya ada dua buku saja yang secara khusus berbicara perihal penelitian seni dalam dua dekade terakhir, yakni buku Metodologi Kajian Tradisi Lisan (1998), di mana tulisan Sal Murgiyanto yang telah saya kutip di awal tulisan ini turut terhimpun; dan buku Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (1999) karangan R.M. Soedarsono. Artinya, lebih dari satu dekade tidak ada lagi buku serupa. Mudah-mudahan buku ini dapat mengisi kevakuman itu, dan yang lebih penting, menunjukkan pula apa yang telah bergeser dan berubah dalam tradisi penelitian seni di Nusantara selama satu dekade awal milenium ketiga ini. Ekspektasi lebih jauh, tentulah agar buku ini dapat mengintroduksi ‘kajian pergelaran’ di Indonesia secara memadai. Jika pun dianggap belum cukup ‘baik’ pun setidaknya akan menjadi satu pijakan yang memadai untuk buku-buku sejenis berikutnya.   
Dengan terbitnya buku ini, saya berhutang budi pada banyak pihak. Pertama, tentu saja kepada Lono Simatupang sendiri, yang telah ‘bermurah hati’ mempersilakan saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya, memberi saya kepercayaan untuk memperlakukan tulisan-tulisannya itu laksana puzzle yang saya utak-atik di sana-sini agar bisa sesuai dengan sebuah plot yang saya bayangkan. Di tengah kesibukannya, Lono Simatupang masih pula bersedia berdiskusi dan memberi masukan bagi editan saya. Kedua, kepada teman-teman di “Minggirans Circle” (Wendi HS, Pandu Birowo, Pak Anas, Pak Indro Moerdisuroso, Wahyu “Gogon” Novianto, Pak Asril Muchtar, dan Lia-Nisaul Aulia), yang dengan caranya masing-masing telah ikut memberi masukan bagi konstruksi buku ini. Ketiga, dan kiranya paling penting, kepada Penerbit Jalasutra, yang telah dengan ‘murah hati’ bersedia menerbitkannya. Di tengah kelangkaan buku tentang seni, kesediaan Jalasutra untuk menerbitkan buku ini kiranya pantas diapresiasi secara khusus. Semua itu hanya dimungkinkan pula melalui ‘kebaikan’ Mbak Sistha Oktaviana Pavitrasari, yang telah memulai membicaraan perihal penerbitan buku ini. Kepada semuanya saya ucapkan terima kasih dan salut.
Tentang Penulis
Lono Simatupang, terlahir di Yogyakarta pada tahun 1960, dengan nama lengkap Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang. Saat ini tercatat sebagai dosen di Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 
Gelar sarjana Antropologi diperolehnya dari Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1986, sedangkan gelar M.A. dalam Antropologi diperolehnya dari Department of Sociology and Anthropology, Faculty of Arts, Monash University, Australia. Untuk jutraenjang M.A. tersebut ia menyusun tesis berjudul The Development and Meanings of Dangdut: A Study of Indonesian Popular Music. Pada tahun 2004 ia memperoleh gelar Doktor dalam Antropologi dari Sydney University, Australia, dengan disertasi berjudul Play and Display: An Ethnographic Study of Reyog Ponorogo in East Java, Indonesia. 
Sejak 1997 ia mengampu mata kuliah yang terkait dengan perspektif antropologis terhadap seni; baik pada jenjang S-1, S-2, maupun S-3 di Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, maupun di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa serta Program Studi Kajian Budaya dan Media – keduanya di Sekolah Pascasarjana, UGM. Sejak 2005 ia juga mengajar sebagai dosen tamu di Program Pascasarjana, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta untuk mata kuliah Metode Penelitian.

#Seni #Jalasutra #Buku 


=====
Perlu buku ini:
sms/telp./Watsap: 085752135999
BBM: 58457C44
Line ID: juraganpili/ 085729164325
e-mail: pinilihlinuwih@gmail.com

instagram: pinilihlinuwihbookstore